melirik mbak-mbak berbibir renyah
wangi sunsilk di pojok kanan
semburat keringat di tepi kiri
aku tahu jakarta selalu bikin gerah
tapi nakal goyangnya membetot gairah
aku tahu busway membuat copet gundah
satpam yang galak dan mbak berpantat indah
turun di kota melipir di trotoar
hati-hati nyebrang! banyak sembalap sangar!
yuk mampir ke museum bank mandiri
bangunan tua dengan sejuta alibi
sekarang milik republik, dulu harta kompeni
sekarang wisata rikiplik, dulu pusat negeri
bosan lihat bank, mari melintas di sungai panjang
gelap airnya pekat jiwanya menyimpan cerita yang garang
kekasih putus asa bunuh diri tenggelam dan hilang
saudagar cina merantau kemari untuk berdagang
sampai kita di jembatan kota intan
tak secerlang gemintang berlian
terjepit saudara betonnya
dan kota yang menua
putar balik ke cafe batavia
tak usah masuk, mahalnya!
membuang haus di jakarta
cukup cendol dan aqua!
lalu kau bertanya padaku (aku tak akan lupa)
mungkinkah suatu hari nanti jakarta yang lansia
akan muak dengan kita, dan mengusir anak-anaknya
ke padang pembuangan abadi, seperti israel tanpa musa?
aku tak bisa menjawabnya (aku tak akan lupa)
kita ke museum wayang saja, tentu kau suka
boneka-boneka dari segala penjuru dunia
nyawa yang dipinjam dan tatapan yang baka
aku yakin kau suka!
(tapi kau menolak dan mengajak pulang saja)
naik busway di depan stasiun kota
melirik mbak berkemeja belahan rendah
tahi lalat di pangkal lehernya kesepian
di tengah lautan susu yang bermuda
(next stop, bunderan ha i. change your belongings and step carefully, thank you).
naik busway istimewa duduk di muka sama musisi ska dan editor murka.